Senin, 01 Oktober 2012 JAKARTA-- Pengguna setia Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line menolak kenaikan tarif KRL tersebut. Melalui internet mereka membuat surat terbuka penolakan kenaikan tarif KRL Commuter Line.
Surat ini dibuat oleh Ariyo132Nugroho, anggota @krlmania yang tergabung dalam change.org. Berikut ini isi petisi terbuka yang ditujukan ke Dirut PT KAI:
Batalkan kenaikan tiket KRL, penuhilah SPM (Standar Pelayanan Minimum)
Berikut ini alasan-alasan kami menolak kenaikan harga tiket:
1. Apa jaminan pelayanan yang akan diberikan? Apakah penumpang akan mendapat kompensasi ketika ada gangguan?
Kami sering menyampaikan kepada KAI/KCJ poin-poin yang mudah tanpa perlu biaya besar: Informasi gangguan perjalanan, Informasi stasiun yang akan disinggahi, Nama dan Nomor Urut Kereta, Pelayanan loket, Lampu penerangan, Toilet, Fasilitas kesehatan, Fasilitas kemudahan bagi penyandang cacat, wanita hamil, balita, orang sakit; dan orang lanjut usia di kereta.
Padahal ini adalah poin-poin dari Permen No. 9 Th. 2011 tentang SPM (Standar Pelayanan Minimum) yang telah disahkan 1.5 th yang lalu, namun operator selalu menghindar untuk menerapkannya.
Semuanya lebih bersifat pelayanan yg manusiawi. KAI/KCJ selalu hanya melihat sisi aset: "kami akan menambah 160 KRL", "memperpanjang peron", “pemasangan LCD”, dsb. Padahal ada ungkapan "Assets make possibility. People make it happen". Jadi dibalik aset itu ada manusianya yang penting, bagaimana petugas dan manajemen KAI itu lebih berorientasi melayani.
2. KCJ menyatakan bahwa tarif KRL tidak pernah naik selama tiga tahun terakhir. Faktanya, pada tahun 2011, ketika Commuter Line mulai dioperasikan sudah ada kenaikan tarif.
3. Sebelum tarif naik pun, KRL kelas ekonomi (bersubsidi) semakin dikurangi jadwalnya. Bila tarif KRL non-Ekonomi dinaikkan lagi Oktober nanti, dikhawatirkan KRL ekonomi menjadi semakin penuh sesak (overload).
4. Kebocoran pemasukan dari karcis masih terjadi, akibat oknum-oknum tertentu yang tidak diperiksa karcisnya. Seharusnya ini diselesaikan dulu daripada mencari solusi instan yang mengorbankan penumpang.
5. Adanya pemborosan anggaran yang sudah terjadi pada pengadaan sistem Commet. Mesin-mesin e-Ticketing terbengkalai, belum berfungsi, malah ada yang sudah rusak. Apakah inefisiensi dan pemborosan ini harus ditanggung oleh penumpang KRL?
Kemudian kepada Pemerintah, perlu kami ingatkan bahwa dikhawatirkan akan ada penumpang KRL yang kembali mengendarai motor/mobil pribadi bila tarif KRL dinaikkan lagi. Seharusnya, pemerintah memberikan insentif kepada para pengguna KRL karena telah mengurangi beban jalan raya (kemacetan), polusi, konsumsi BBM dan lain-lain; dalam bentuk tarif KRL yang murah dan terjangkau. (*/X-13)
Posting Komentar